Halaman

Selasa, 01 Januari 2013

mengatur komposisi


Mengatur komposisi:
Rule of Third: menempatkan objek utama tidak di tengah frame tetapi pada salah satu dari 1/3 bagian sisi pojok foto.
Format horisontal atau vertikal:
qDiagram segi tiga
qDiagram irisan emas
qDiagram susunan diagonal
Framing: memberikan elemen-elemen tertentu di antara objek utama sehingga menghasilkan kesan objek utama tersebut berada di dalam sebuah bingkai(frame).
Number of subject: banyaknya objek yang relatif seragam akan kelihatan kurang menarik dari pandangan komposisi, oleh krn itu temukanlah salah satu objek yg berbeda di antara sekian banyak objek tersebut.
Kedalaman(depth of field): perspektif yang akan menimbulkan ilusi jarak dgn menciptakan ruang yg tdk ada di bidang gambar. 
Irama: komposisi yg berbentuk pengulangan,co: jendela bangunan,teras sawah,& gelombang lautan. 
Latar belakang: tdk boleh mengganggu objek utama, latar belakang yg ramai akan merusak gambar. 
Garis: komponen yg membawa seorang pengamat ke dlm gambar atau melintasi gambar 
Keseimbangan: foto memerlukan keseimbangan visual

Selasa, 18 Desember 2012

Dasar-dasar Fotografi



1.Mengatur fokus/focusing: kegiatan mengatur ketajaman objek foto.
Ragam fokus: extreme long shot,long shot,medium long shot,medium shot,medium close up,close up,big close up,extra close up.
2.Diafragma/bukaan: alat utk mengatur besar kecilnya lubang tempat masuknya cahaya ke dalam kamera/ mengatur intensitas cahaya.
Lambangnya “F/satuan”, semakin kecil angka satuannya maka semakin besar bukaan lensa & sebaliknya.
3.Speed shutter/rana: lamanya lobang diafragma membuka kemudian menutup kembali.
Satuan dari shutter adalah detik, semakin kecil angka satuannya maka semakin lambat rana membuka & menutup.
Saat banyak cahaya, maka speed shutter butuh kecepatan & sebaliknya.
 4.Komposisi: cara menata elemen-elemen di dalam gambar.

Unsur-unsur komposisi:
Objek
Warna
Garis
qVariasi bentuk garis:
ØTegak lurus
ØKurva/lengkung
ØLurus tapi miring diagonal
ØMiring bawah lebih tebal
ØBergerigi
ØBergelombang
ØHorisontal
Shape
Form
Tekstur
Pattern

Rabu, 26 September 2012

HAK-HAK ATAS TANAH


Adapun hak-hak atas tanah tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UUPA terdiri dari :
a.     Hak Milik.
b.     Hak Guna Usaha.
c.      Hak Guna Bangunan.
d.     Hak Pakai.
e.     Hak Sewa.
f.      Hak Membuka Tanah.
g.     Hak Memungut Hasil Hutan.
h.    Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak yang tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
Hak atas tanah meliputi semua hak yang diperoleh langsung dari negara disebut hak primer dan semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah lain berdasarkan pada perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Kedua hak tersebut pada umumnya mempunyai persamaan, di mana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya sendiri atau untuk mendapat keuntungan dari orang lain mdalui perjanjian dimana satu pihak memberikan hak-hak sekunder pada pihak lain.
Hak atas tanah yang diperoleh dari negara terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Tiap-tiap hak mempunyai karakteristik tersendiri dan semua harus didaftarkan menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pasal 20 UUPA hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Salah satu kekhususan dari Hak Milik ini tidak dibatasi oleh waktu dan diberikan untuk waktu yang tidak terbatas lamanya yaitu selama hak milik ini masih diakui dalam rangka beriakunya UUPA, kecuali akan ketentuan Pasal 27 UUPA. Pasal 27 UUPA menjelaskan bahwa Hak Milik itu hapus apabila :
§  Tanahnya jatuh kepada negara :
1.      Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18
2.      Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
3.      Karena diterlantarkan
4.      Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)

§  Tanahnya musnah.

Jumat, 15 Juni 2012

Subjek Hukum Tata Usaha Negara


Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan batasan pengertian sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka dalam sengketa tata usaha uegara subyek hukumnya terdiri dari :
1.    Penggugat          :      yaitu orang atau badan hukum perdata.
2.    Tergugat             :      yaitu Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah.
Ad. 1. Penggugat
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN (Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004).
Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan yang menurut pengertian hukum perdata berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan lembaga hukum publik yang berstatus sebagai badan hukum, seperti Propinsi, Kabupaten, Departemen, dan sebagainya.
Jadi, orang atau badan hukum perdata tersebut secara hukum sebagai pendukung  (pemangku) hak-hak dan kewajiban, sehingga atas dasar itu mempunyai legal standi untuk mempertahankan kepentingan yang dirugikan oleh suatu Keputusan TUN dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan gugatannya sepanjang dapat membuktikan adanya kepentingan untuk itu.
Di dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat TUN dapat menjadi Penggugat bertindak mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam mempermasalahkan prosedur penerbitan Keputusan TUN yang ditujukan kepada instansi Pemerintah yang bersangkutan.
Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN tentang Pencabutan Surat Ijin Penghunian (SIP) yang ditempati instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN yang berisi perintah bongkar bangunan milik instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap pembatalan sertipikat tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya (lihat Buku II, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, halaman 44).
Ad.2. Tergugat
Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang diguguat oleh orang atau badan hukum perdata (vide Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986).
Badan atau Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 ).
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan“ adalah kegiatan yang bersifat eksekusif. Dengan demikian kegiatan-kegiatan lain di luar kegiatan yang bersifat eksekusif tersebut terutama yang masuk dalam pengertian kegiatan legeslatif dan yudikatif, tidak masuk di dalam pengertian “urusan pemerintah“.
Urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yaitu semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.
Apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama ini menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah, – sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut – “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan”.  Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dhi. berdasarkan ketentuan hukum baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan.
Konsekuensi dari kriteria fungsional adalah, pengertian Badan atau Pejabat TUN menjadi tidak terbatas pada Badan-Badan atau Pejabat-Pejabat di lingkungan eksekutif yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi siapa saja asalkan kepadanya diletakkan kewenangan untuk menjalankan fungsi pemerintahan atau melakukan kegiatan urusan pemerintahan, maka terhadap Keputusan TUN yang dikelurakannya pada prinsipnya dapat saja di jadikan obyek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, asalkan ada dasar wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kamis, 10 Mei 2012

perbedaan etika, akhlak & moral


Perbedaan etika akhlak & moral
ETIKA
Etika merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang di lakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk, dengan kata lain aturan atau pola tingkah laku yang di hasilkan oleh akal manusia.
Dengan adanya etika pergaulan dalam masyarakat akan terlihat baik dan buruknya. Etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
II. MORAL
Suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari ssifat peranlain, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat di katakan benar, salah, baik, atau buruk.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan yang lainnya kita dapat mengatakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang sama yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya di tentukan posisinya baik atau buruk. Namun demikian dalam hal etika dan moral memiliki perbedaan
Dengan demikian tolak ukur yang di gunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan, dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari Ada sedikit perbedaan. Moral di pakai untuk perbuatan yang sedang di nilai, sedangkan etika di pakai untuk system nilai yang Ada.

III. AKHLAK
Akhlak adalah pembahasan tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tegolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk atau berisi pembahasan dalam upaya mengenal tingkahlaku, kemudian memberikan hukum kepada perbuatan tersebut, yaitu apakah perbuatan tersebut tergolong baik atau buruk.
Adapun 5 ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak adalah:
1. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam diri seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dengan menggunakan tanpa pemikiran.
3. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa Ada paksaan atau tekanan dari luar (atas dasar dan keinginan diri sendiri) tanpa paksaan.
4. Perbuatan akhlak adalah perbutan yang di lakukan dengan sesungguhnya, bukan bermain-main atau karena bersandiwara.
5. Sejalan dengan ciri yang ke-4 perbuatan akhlak (khususnya anak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah SWT, bukan karena di puji orang atau karena ingin mendapat suatu pujian.

Jumat, 06 April 2012

Tujuan Tax Reform


Tujuan utama dari pembaharuan perpajakan sebagaimana diuraikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Bapak Radius Prawiro pada sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 5 Oktober 1983 ialah untuk lebih menegakkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mangarahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khusus dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam.
Untuk membiayai dan manjamin berhasilnya Repelita IV kita tidak akan sekedar mangandalkan kepada peningkatan penerimaan negara yang berasal dari usaha peningkatan penerimaan tersebut dianggap perlu untuk mengadakan penyempurnaan sistem perpajakan.
Selanjutnya untuk menaikkan penerimaan pajak sebagai dimaksudkan di atas perlu juga dilakukan penyempurnaan aparatur perpajakan dengan melakukan komputerisasi dan peningkatan mutu para pegawainya, perbaikan sikap mental para pejabatnya, serta mempersiapkan yang besar sekali dalam menghitung dan membayar pajaknya sendiri. Untuk menambah jumlah wajib pajak perlu dilakukan intensifikasi pungutan.

Kamis, 29 Maret 2012

Perikatan Bersyarat (voorwaardelijk verbintenis)

Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadinya peristiwa, maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUH Perdata). Dari ketentuan pasal ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu periktan dengan syarat batal dan periktan dengan syarat tangguh:

1. Perikatan dengan syarat tangguh;
Apabila syarat "peristiwa" yang diamksudkan dengan itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHPdt). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban dibitur untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya A setuju apabila B adiknya paviliun rumahnya, setelah B kawin. Kawin adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika B kawin, maka A berkewajiban menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.

2. Perikatan dengan syarat batal; Disamping perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila "peristiwa" yang dimaksudkan itu terjadi (pasal 1265 KUH Perdata). Misalnya A setuju apabila B mendiami rumah milik A selama ia belajar di luar negeri, dengan syarat bahwa B harus mengosongkan rumah tersebut apabila A selasai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat "selesai dan kembali ke tanah air" masih akan terjadi dan belum belum pasti terjadi. Tetapi jika syarat tersebut terjadi perjanjian berakhir dalam arti batal. Hal ini membawa konsekwensi bahwa segala sesuatu dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak ada perikatan. Dalam contoh di atas B berkewajiban menyerahkan kembali rumah tersebut kepada A.

Batalnya perikatan itu bukanlah "batal demi hukum", melainkan "dinyatakan batal" oleh hakim. Jadi, jika syarat batal itu dipenuhi , maka pernyataan batal harus dimintakan kepada hakim., tidak cukup dengan permintaan salah satu pihak saja, atau pernyataan kedua belah pihak, meskipun syarat batal itu dicantumkkan dalam perikatan (pasal 1266 KUHPerdata).